Saya
bertanya kepada anda semua. Bisakah anda menjalani satu hari kehidupan
ini tanpa mengeluh sedikitpun? Ini pertanyaan serius lho! Tidak main-main, kata Sariman.
Saat
hujan, kita mengeluh. Repot, jalanan becek dan macet, yang naik motor
harus berteduh atau pakai jas hujan, sepatu basah, bisa sakit flu,
mobilitas jadi turun, dan sebagainya. Pas cuaca panas, kita mengeluh
juga. Huh! Panasnya minta ampun, mau kemana-mana jadi malas. Pilon tidak?
Tidak
punya uang, kita mengeluh. Punya banyak uang pun kita mengeluh. Aduh
mau diapakan uang ini? Sebentar lagi teman dan saudara pasti pada
mendekat berharap dapat bagian. Ahhh!
Tidak
punya pekerjaan, kita mengeluh. Duh, susahnya jadi pengangguran.
Penghasilan tidak punya, kebutuhan tidak bisa ditunda. Tapi yang punya
pekerjaan pun mengeluh. Yah… sudah hari senin lagi, harus kerja lagi.
Pusing mikirin pekerjaan, nggak ada habis-habisnya.
Tidak punya pacar, kita mengeluh. Nggak enak jadi jomblo, nggak ada yang urus, mau jalan-jalan nggak ada yang di gandeng, kalau lagi manyun, nggak ada
yang bisa di telpon. Tapi saat punya pacar pun, kita mengeluh juga.
Hmmm, harus jemput lagi. Harus ingat kapan ulang tahunnya. Harus
menelpon tiga kali sehari. Capek deh…
Yang berbisnis pun begitu. Order sepi mengeluh. Gila, order turun terus. Kalau begini terus bisa bangkrut nih. Begitu kebanjiran order, mengeluh juga. Gila, bisa nggak napas nih, banyak banget ordernya jadi pusing mikirinnya. Dasar pilon!
Dulu anda mengeluhkan kepemimpinan Soeharto, tapi begitu dia lengser dan di gantikan yang lain, anda mengeluh juga. Lha terus
mau anda itu apa? Apa Indonesia ini tidak usah ada Presidennya,
DPR/MPRnya di bubarkan, Mahkamah Agung di bekukan, tidak ada partai
politik, LSM-LSM di larang keberadaannya, Pers dilarang terbit, Tentara
dan Polisi di tiadakan, begitu? (Wis mbuh lah sak karepmu!)
Mengeluh itu kan
kondisi dimana peristiwa atau realita yang terjadi tidak sesuai dengan
keinginan kita. Nah, justru disitulah hikmahnya, kata Sariman. Maksudnya
ketika kita mengeluh, kita sebenarnya tahu bahwa ada sesuatu yang tidak
atau kurang pas menurut kita. Itu dasar untuk melakukan perubahan dan
penyempurnaan, bukan?
Kuncinya
tinggal kita mau atau tidak untuk bertindak, merubah dari sesuatu yang
belum pas dengan kemauan kita, menjadi sesuatu yang sesuai atau paling
tidak lebih dekat dengan apa yang kita maui. Dan kebanyakan kita,
termasuk saya, kata Sariman, hanya bisa mngeluh tanpa berbuat apapun
untuk merubahnya. Ini kan pilon namanya. Padahal keluhan itu kan bisa menjadi pemicu terjadinya perubahan. Kata Richard Hooker, “Change is Not Make Without Inconvinience…”
Tidak
ada yang salah dengan mengeluh, karena Tuhan juga menciptakan sistem
inderawi yang sedemikian rupa yang mampu menangkap setiap atau beberapa
fenomena disekitar kita. Di ciptakan pula sistem pertahanan dalam diri
kita, yang dapat muncul secara otomatis begitu ada stimulus. Misalnya
jika kita merasa tertekan, kita akan menggeliat atau berontak, jika di
tonjok kita berusaha menangkisnya, jika terantuk batu kita bilang
“aduh”. Itu semua bagian dari bekerjanya sistem pertahanan bekerja di
dalam diri kita.
Otomatisasinya bisa di stel, kata Sariman. Misalnya, kalau terantuk batu, tidak harus bilang “aduh”, bias saja di stel
dengan mengucap “astaghfirullah” atau “astaganaga” atau “auuuoooo…!”
itu terserah kita. Kalau selesai bersin kita bisa saja mengucap
“alhamdulillah” atau “ayam goreng” itu juga terserah kita. Hanya masalah
kebiasaan saja kok. Pendek kata ketika ada peristiwa
atau kejadian yang kurang nyaman di hati kita, tidak pas dengan harapan
kita, dan karenanya kita selalu mengeluh tanpa tindakan perubahan, itu
karena kita sudah stel otomatisasi kita dengan cara seperti itu. Lha, kalau kita mengeluh, memprotes sesuatu, mengkritik orang, tapi kita sendiri tidak berusaha lebih baik kan pilon namanya.
Beberapa
waktu lalu saya mendapat email dari seorang teman, ia bercerita melalui
bahasa visual dengan powerpoint, dikisahkan ada seseorang yang berdoa
kepada Tuhan agar diberikan bunga yang indah dan kupu-kupu yang cantik.
Namun apa yang terjadi, Tuhan justru memberinya bunga kaktus yang penuh
duri dan seekor ulat bulu.
Pada mulanya ia mempertanyakan “Tuhan ini serius ndak sih? Saya minta bunga dan kupu-kupu kok
yang diberikan kaktus penuh duri dan seekor ulat. Katanya setiap doa
akan dikabulkan, huh!”. Ia mengeluh dan kesal. Namun akhirnya ia
berpikir “mungkin Tuhan terlalu banyak urusannya, terlalu banyak doa
dari umatnya sehingga belum sempat merespon doaku”, lalu ia
melupakannya. Setelah waktu demi waktu berlalu, dari bunga kaktus penuh
duri itu muncul bunga yang indah dan ulat tadi menjelma kupu-kupu yang
cantik.
Akhirnya
ia menyadari bahwa Tuhan memiliki caranya sendiri, walaupun
kelihatannya salah pada mulanya tapi ternyata itulah yang terbaik. Dan
Tuhan tahu kapan saat yang paling tepat. Duri hari ini menjadi bunga di
hari esok.
Begitulah
wajah kita. Kita ini cenderung sok tahu. Menganggap segala sesuatu
menjadi tidak berarti manakala proses dan perjalanannya tidak sesuai
dengan kehendak kita, lantas kita mengeluh, mengaduh, resah dan
tertekan. Bahkan menyalahkan Tuhan.
Keluhan
itu bias diartikan sebagai ketidakmampuan kita mensyukuri apa yang
diberikan Tuhan kepada kita. Padahal salah satu kunci keberhasilan
adalah dengan bersyukur (gratitude). Bukankan Tuhan sendiri yang
mengatakan “Bersyukurlah, niscaya aku akan menambah nikmat bagimu…”.
Niscaya itu absolut, pasti. Lebih lanjut Tuhan mengatakan “…jika kamu
mengingkari nikmatku, niscaya adzab-Ku sangat pedih”.
Disinilah kita seringkali menjadi pilon. Kita
mau nikmat yang banyak tapi tidak mensyukuri yang diberikan-Nya. Kalau
yang sedikit saja tidak di syukuri, jangan-jangan jika diberikan nikmat
yang banyak malah jadi lupa bersyukur.
Jika
kita terserang gejala flu, bersyukurlah. Begitulah cara Tuhan
mengingatkan bahwa badan kita perlu istirahat yang cukup, untung tidak
langsung koit, kata Sariman. Maka dari itu, kalau negeri
ini selalu dalam kemelut malapetaka dan bencana, tingkat pertumbuhan
ekonomi tidak kunjung membaik, penyakit sosial tumbuh subur, lebih
banyak maling daripada negarawannya, mungkin karena kita tidak memiliki
rasa syukur itu dan memilih untuk lebih banyak mengeluh, protes, dan eker-ekeran memperebutkan yang bukan haknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar